SPIRITOF DHUHA

Thursday, February 10, 2011 0 Comments

Lumayan sering saya ngomong, paksain, paksain, paksain. Paksain buat sedekah. Bila ga ada duit, jual barang. Jika ga ada barang, pasang niat. Jika perlu, begitu saya katakan, ngutang aja. Supaya bisa bersedekah.

Tentu saja, pasti tidak semua hal bisa dibahas habis di 1x pengajian. Saya yang barangkali tidak arif. Sehingga kedengerannya kayak memaksakan seseorang buat bersedekah.

Sebelum biara tentang maksa dan maksain sedekah, izinkan saya bicara dulu semukaddimahnya.

Aslinya memang saya sering maksa orang bersedekah sih, he he he. Saya bilang, urusan baik, kudu dipaksain. Dulu, kalo saya ga dipaksa mengaji, mungkin ga akan ada ilmu agama. Seorang anak jika ga dipaksa masuk pesantren, mungkin malah orang tuanya yang melarang-larang. Saking sayangnya, begitu mungkin. Padahal membekali anak dengan ilmu dan kebiasaan beragama yang baik, adalah bentuk sayang buat anak-anak kita.



Lampu merah, kuning, hijau, emangnya bukan pemaksaan? Itu kan pemaksaan. Lampu merah, kita dipaksa untuk berhenti. Ga boleh kita ga berhenti. Harus berhenti. Lalu misalnya kebetulan perempatan itu perempatan yang indah, lalu kita masih kepengen berlama-lama. Atau ada nomor telepon dari iklan di perempatan lampu merah yang mau dicatat. Ga boleh juga kita masih berhenti kalo lampunya udah berubah hijau. Padahal dikit lagi nih bisa kecatat, tetap engga boleh. Detik itu hijau, detik itu kudu mulai jalan. Pas merah pun gitu. Coba aja lampu merah ditabrak, pasti kecelakaan yang ada.

Kenapa kita dipaksa lalu nurut? Sebab kita tahu itu adalah kebaikan adanya, dan membelakanginya adalah keburukan.

Dalam urusan agama, seringkali kita tidak memaksakan diri. Terlalu memanjakan diri. Di banyak ibadah ini terjadi. Sehingga kalimat tidak membebankan diri sering jadinya tidak memaksimalkan diri. Akhirnya, ibadahnya begitu-begitu saja. Seringkali turun kuantitas dan kualitasnya malah: Shalat malam, ga dipaksakan. Shalat dhuha, ga dipaksakan. Shalat tepat waktu, ga dipaksakan. Berhaji ga dipaksakan. Dan masih banyak lagi. Semuanya ga dipaksakan, padahal bisa.

Shalat malam, kalo emang diniatin, mestilah bangun. Aturlah supaya bisa tidur lebih awal. Olahragalah di malah hari, dengan shalat sunnah yang agak banyak menjelang tidur. Sebagai pengantar tahajjud yang fresh punya. Begitu terbangun, langsung paksa badan bangun dan melangkah mengambil air wudhu. Kalau perlu langsung mandi. Dan bilamana perlu, ambil sajadah kemudian shalatnya di luar rumah; di halaman rumah, di mushalla deket rumah, atau di mana keq sekedar perubahan suasana. Shalat malam beratapkan langit dan bebintangnya, cakep juga buat supaya tidak ngantuk.

Shalat dhuha, bila tidak dipaksakan, ntar ga dhuha-dhuha. Lihat saja diri kita. Ketika kita dulu sekolahnya di sekolah yang tidak memberlakukan dhuha, bertambah-tambahlah tidak ada dhuhanya sama sekali. Dan keadaan ini berlanjut. Sebenernya, ketika kita berada di kantor, bisalah menyempatkan diri sebentar, walo hanya 2 rakaat dhuha. Pergilah ke kantor dalam keadaan berwudhu. Supaya ketika tiba di kantor, kita bisa menegakkan dhuha di samping meja kerja kita. Di warung kita, di toko kita, di sekolah, di kampus, di mana saja kita sempatkan. Waktu mah bagaimana kita. Tentu saja salah besar jika seseorang shalat dhuha sampe 1-2 jam. Kecuali di hari libur, ya tegakkanlah shalat dhuha 2 rakaat dengan bacaan yang pendek. Cukup. Asal istiqamah. Tar sesekali, kita kemudian shalat pol 12 rakaat, yakni manakala sedang libur.

Berhaji. Berhaji jika tidak dipaksakan, wuah, alasan utamanya adalah: Belom ada panggilan. Di saat yang sama belom berhaji, keadaan uang berlimpah. Atau kalaupun tidak berlimpah, bisa lah kira-kira pergi haji kalau maksain. Misalnya, rumah ada. Tapi baru satu. Lah, satu-satunya rumah itu kemudian dijual buat pergi haji. Orang sering menyebut maksain. Tapi saya menyebut maksimalisasi. Emang harus maksain. Masa lebih penting rumah ketimbang nyempurnain Rukun Islam? Duit emang ga punya, tapi mobil punya, ya jual saja mobilnya. Ngontrak rumah sewaan, dan pake mobil sewaan. Insya Allah memaksakan diri seperti ini menjadi ibadah yang subhaanallaah. Ibadah yang dilakukan dengan pengorbanan.

Puasa. Baik puasa wajib atau puasa sunnah. Iddih, ibadah puasa ini, jika tidak memaksakan diri, habislah badan ini jadi manja. Tar malah kelamaan engganya, jadi malah seumur-umur ga biasa dan ga bisa puasa.

Di pesantren Daarul Qur’an, banyak ibadah sunnah awalnya diprotes oleh beberapa walisantri. Ada yang beralasan medis, ada yang beralasan perlahan perlahan, dan satu dua alasan lain. Puasa contohnya, kata satu dua walisantri, anaknya ga terbiasa puasa. Perutnya suka sakit. Alhamdulillah, dengan pengajaran, dan terbangunnya lingkungan, anaknya malah menyuruh orang tuanya puasa. Ga ada tuh yang dikhawatirkan. Kalao khawatir terus, malah kekhawatiran itu yang lebih mengemuka nantinya. Shalat dhuha, sungguhpun ia sunnah, di pesantren jadi amalan wajib. Di awal-awal ada suara, mengapa jadi wajib? Bukankah Rasulullah saja tidak mewajibkan? Saya jawabnya enteng aja, dhuha emang sunnah. Tapi yang jadi masalah, situ sekolahnya di Daarul Qur’an. Dan di Daarul Qur’an dhuha itu wajib. Titik. Mau nurut, apa engga? Kalau engga mau nurut peraturan, ya maaf, keluar aja. He he, maaf ya. Itu bahasa saya memang. Kasar ya? Yah, pegimana niatnya dah.

Sama, urusan dunia juga kalau engga dipaksakan, bakalan malas lah yang ada: Olahraga tuh yang paling kelihatan. Kalau engga dibiasakan dan dipaksakan diri ini berolahraga, sampe kemudian jatuh sakit baru keingetan olahraga. Jam masuk sekolah, kalau tidak dipaksa menjadi peraturan dan tata tertib yang ada sangsinya, niscaya akan berantakanlah kedisiplinan. Semuanya semaunya.

Jadi, tidak semua pemaksaan itu jelek. Pemaksaan itu kadang bagus buat yang dipaksa. Pemaksaan yang dibarengi dengan penyadaran diri, tarbiyyah bahasa agamanya, tentu akan jauh lebih baik lagi. Taatnya bukan karena peraturan. Tapi karena kesadaran.

MENJALANI KEHIDUPAN DGN TAUHID

Perjalanan hidup ini sepenuhnya rahasia Allah. Kita hanya perlu tahu bahwa Allah akan mengatur yang terbaik, sudah mengatur yang terbaik, dan memberikan hanya yang terbaik. Jalani hidup dengan percaya kepada Allah, ibadah sepenuh hati, dan pasrah akan Kehendak-Nya. Sekuat mungkin lakukan apa yang diperintah, baik wajib maupun apa-apa yang menjadi sunnat, dan tinggalkan kemaksiatan dan dosa. Barangkali inilah dari sekian rahasia supaya hidup mengalir tenang, aman, dan banyak kemudahan.

Dan dalam hidup ini, ada saja kemudian peristiwa yang kurang mengenakkan terjadi di dalam hidup kita. Sehingga kemudian jadilah kita bahagian orang yang malah tambah dekat dengan Allah, atau sebaliknya, malah meratapi dan menyumpahi hidup ini. Ada orang-orang yang Allah bukakan jalan kedekatan dengan-Nya, justru karena beban hidup yang bukan kepalang berat dan besarnya. Tapi ada yang bertambah jauh dengan Allah sebab kesulitan hidupnya. Begitulah. Hidup ini isinya barangkali hanya ada dua pilihan; jalan lurus dan jalan sesat; jalan syukur atau jalan kufur; jalan ibadah atau jalan maksiat.

Ada seorang yang merasa ga bisa memberi apa-apa buat orang tuanya, lalu bergaul dengan para hedonis dan mengambil “manfaat semu” dari sana. Ia berikan orang tuanya dunia. Tapi ia korbankan kehormatan dengan menjadi pelacur misalnya; baik pelacur bener maupun yang samar. Namun ada juga mereka-mereka yang ketika tidak bisa memberikan apa-apa ke orang tuanya lalu ia tempuh jalan anak-anak saleh untuk orang tuanya. Tidak ada dunia yang dibawa ke orang tuanya, tapi kebaikan demi kebaikan mengalir untuknya. Dan ini juga kelak akan menghasilkan cahaya dunia untuk dia dan orang tuanya.

Ada keluarga dan anak istri yang disuapi dari harta haram. Bahagia hidup bergelimang dunia tanpa keluarga dan anak istrinya sadar disuapi dari rizki haram. Kelak, banyak sekali masalah di keluarga ini. Salah satunya bisa saja justru keluarga ini bisa kehilangan sang suami. Atau suami yang kehilangan anak istri, sebab satu dua kejadian.

Ada orang miskin yang mengambil hak-hak orang dan menempuh jalan judi sebagai jalan yang bisa mengubah kemiskinannya. Banyak orang miskin yang kemudian menjadikan tangannya sebagai wasilah meminta-minta. Tidak sedikit orang miskin yang menjadi mitra tangan-tangan kotor lalu menyambung hidupnya dengan rizki kotor. Sebab itulah hidup mereka ini tetap miskin dan bertambah miskin. Kalaupun kemudian mereka-mereka ini kaya, mereka akan tetap miskin. Allah akan buat hidupnya selalu kurang dan tak terpuaskan. Bahkan tidak sedikit mereka yang jadi miskin lagi setelah mencicipi kekayaan, dan bertambah lagi dengan satu predikat: hina. Sudah miskin, hina. Misalnya sebab ketangkep, dipenjara, menderita satu penyakit, dan lain sebagainya.

Sementara itu, kita menemukan banyak juga orang miskin yang bertahan menjaga perutnya dari barang-barang yang haram. Ia kejar kemiskinannya itu dengan mempergiat bangun malam dan shalat dhuha. Ia prihatinkan diri dengan berpuasa sunnah. Dan ia jalankan hidup ini dengan ridha dan ikhlas. Bisa jadi hidupnya tetap miskin. Tapi Allah hadirkan ketenangan dalam hidupnya, rumah tangganya langgeng, rizkinya sedikit tapi jadi daging dan enak dimakan. Tidak berubah jadi penyakit. Petaka jarang sekali hadir di kehidupannya. Dan banyak kemudahan di tengah-tengah kekurangan; anak sakit, dikasih cepat sehat. Tanpa berobat. Anak kurang biaya, tapi Allah kirimkan beasiswa dari tangan orang lain. Tak punya kendaraan, tapi Allah hilangkan keperluan berkendaraan; bersaudara dekat-dekat, berkantor tinggal jalan kaki, dan lain-lain. Beda dengan sebagian dari kita, yang punya kendaraan, tapi Allah terbangkan ke sana kemari dengan kendaraannya itu, yang akhirnya malah bertambah-tambah jauh dari keluarga dan Allah. Bahkan Allah tambahkan kendaraan dengan kendaraan yang lebih hebat dan lebih mahal, yang malah menambah jauh dirinya dengan keluarga dan Allah.

Ada yang kepengen punya usaha, lalu mencari modal dari selain Allah. Sementara ada yang menggiatkan bangun malam dan dhuha, serta bersedekah. Ya, saya tidak sedikit menerima konselingan gagal bayar kredit. Usahanya halal, cara-cara usahanya benar. Ternyata sayang, di proses kreditnya, ada kebohongan dan suap. Banyak data dimanipulasi supaya kredit bisa cair, dan tidak jarang melakukan praktik suap walo sekedar dengan menjanjikan sesuatu bagi officernya. Atau ada yang prosesnya benar, ikhtiarnya benar, usahanya halal, tapi tetap bangkrut juga. Selidik punya selidik, shalat wajibnya jadi keteteran, shalat-shalat sunnahnya malahan jadi hilang. Hubungan dengan orang tua jadi jauh, dengan adik-adik malah tak ada silaturahim, dengan tetangga menjadi tak lagi dekat. Jika demikian, maka dicabut usahanya oleh Allah adalah jauh lebih baik. Sadari lagi saja, minta ampun sama Allah, dan ikhtiar lagi yang benar. Insya Allah, Allah akan berkenan memberi lagi apa yang dicabut-Nya. Ada di antara mereka yang bertahan tidak mengapa tidak diberi modal lagi untuk pengembangan usaha. Mereka merasa cukup. Sehingga tidak perlu mereka ini merekayasa laporan keuangan dan aset. Ternyata kemudian Allah berikan keselamatan buat mereka dan usahanya berkembang juga dengan izin dan takdir-Nya.

Ada orang yang kepengen kerja. Ia tempuh jalan-jalan kotor. Ia siapkan jalan pelicin. Dan tidak jarang perbuatannya itu yang melahirkan orang-orang kotor yang tadinya bersih. Pekerjaan ia dapatkan, namun keberkahan Allah hilangkan. Punya duit lebih dari tabungan setiap kali kerja, lalu Allah giring dia untuk membeli kendaraan. Baru sebulan dipake itu kendaraan, sudah mengantarkan maut untuk keluarganya. Mobil ringsek, keluarga celaka, uang terbuang sia-sia. Sementara ada yang meminta kepada Allah pekerjaan. Ia bertahan untuk tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membuat Allah murka. Ia minta sama Allah lewat jalan ibadah. Ada yang belum Allah berikan pekerjaan, namun Allah tetap tanggung rizkinya dan hidupnya tetap mulia. Ga jadi hina sebab tak ada pekerjaan. Saya pun tidak sedikit menemukan yang begini ini. Tidak kerja, namun Allah menyediakan keperluan hidup baginya. Ia tidak menjadi beban buat orang lain, sebab ia tidak meminta. Banyaklah keanehan dari matematika dan mekanisme hidup ini.

Dan ada sebagian kawan yang bertanya, apakah selalu begitu ya? Bahwa yang berbuat baik mesti berkehidupan baik dan yang jahat akan berkehidupan buruk? Bisa ya bisa engga. Pertama, silahkan kembali ke pembahasan materi tentang ukuran anugerah dan masalah. Apakah betul rentetan masalah bener-bener disebut masalah? Bukan anugerah? Dan apakah benar rentetan keberuntungan disebut anugerah? Bukan justru masalah? Kacatama dan ukurannya pakai kacamata dan ukuran yang benar. Sekedar menyegarkan ingatan, anugerah itu adalah jika kita bisa dekat dan ingat sama Allah. Sungguhpun kita berada di situasi-situasi yang menurut orang, berkehidupan buruk. Orang mukmin akan menimati sekali kedekatan dengan Allah, meskipun dia ini cacat, miskin, hina dina dalam pandangan orang, dan serba kekurangan. Orang mukmin tidak akan bahagia bila dia dipandang bagus, mulia, terpandang, kaya, berkecukupan, namun Allah jauh darinya. Dan kemudian sebaliknya, disebut masalah itu adalah jika kita hidup jauh dari Allah dan lupa sama Allah. Ini justru masalah. Maka jika kemudian kita-kita ini hidup banyak uang, karir pekerjaan dan usaha juga sedang bagus-bagusnya, tidak akan ada guna juga jika bener-bener jauh dan lupa sama Allah. Hanya akan membawa petaka saja. Jika ukuran dan kacamatanya sudah benar, maka seseorang tidak akan salah menilai.

Kedua, bukan karena amal kita, lalu ditentukanlah hidup enak atau tidak enak. Bukan. Semata karena Kehendak Allah. Tapi orang mukmin akan senantiasa berhusnudzdzan, bahwa apapun yang ditetapkan Allah, ia akan ridha, ikhlas, sabar, syukur. Termasuk mereka-mereka yang bertaubat. Dia akan menerima segala kesusahan, dengan pengalihan kepada ampunan dan kasih sayangnya Allah (lihat-lihat pembahasan sebelumnya yang berkaitan dengan ini ya).
Kita tidak sendirian. Hidup ini ada yang punya. Bahkan kalau Yang Punya Hidup ini menginginkan kita menjadi sulit, ya tidak mengapa juga. Dengan keyakinan bahwa DIA Maha Mengatur dan Berkehendak, insya Allah kesulitan yang DIA beri, akan Allah ubah sendiri menjadi kemudahan.

Ya. Di dalam ilmu tauhid, mengenal Allah sebagai pusat segala kendali, memegang peranan penting untuk membangun ketenangan dan kebahagiaan. Mereka yang mengenal Allah, akan bersedia diatur, terserah kehendak-Nya. Dan tidak ada yang mengucapkan “ia bersedia diatur”, kecuali yang benar-benar ikut dan tunduk akan seruan-Nya. Sebab ga bisa seseorang mengatakan, “Saya mah insya Allah pasrah Mas”. Tapi kemudian ia tidak bergegas memenuhi panggilan Allah. Tidak pula ia bisa mengatakan, “Saya mengikuti seruan Allah”, bila kemudian hidupnya tiada ada ibadah yang serius.

Maka tanda-tanda seseorang itu bertuhan Allah adalah manakala ia bertakwa; Sekuat mungkin menjalankan perintah-Nya, dan sekuat mungkin meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Sering saya katakan dalam banyak forum. Keberhasilan seseorang menuju hidup enak, berhasil menggenggam dunia, dan hidup tanpa masalah, adalah dengan hanya meniti jalan takwa ini. Dan keberhasilan seseorang keluar dari kesulitannya, sungguh, apabila ia mampu meniti jalan ini. Barangkali jalan ini sempat ia tinggalkan, tapi kemudian ia balik lagi. Maka orang-orang seperti ini yang Allah akan anugerahkan jalan keluar.

“Wa may yattaqillaaha yaj’allahuu makhrajaa. Wayarzuqhuu min haitsu laa yahtasib. Wa may yatawakkal ‘alallaahi fahuwa hasbuhuu. Innallaah baalighu amrihii. Qad ja’alallaahu likulli syai-in qadraa. Sesiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan jadikan jalan-jalan keluar dari setiap kesulitannya dan menghadiahkannya dengan rizki yang tiada ia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang memasrahkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya. Allah meliputi semua urusan. Sungguh Allah telah jadikan segala sesuatu itu ada ukurannya”. (Qs. ath Thalaaq: 2-3).sekian dulu yah .

dharmo

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 comments: